Breaking News

Senin, 27 Oktober 2014




     Gempa... Gempa, itulah hal pertama yang kudengar saat terbangun di pagi hari. Kurasakan ranjangku bergoyang dengan hebat. Ya Tuhan, apakah aku akan selamat ? Terlihat di luar beberapa orang tertimpa reruntuhan rumah mereka bahkan ada yang tewas seketika. Aku pun berlari keluar rumah dengan piyama yang masih kupakai tanpa peduli lagi semua barang seperti TV, Laptop, dan lain sebagainya yang masih berada di rumah. Aku masih bisa membeli mereka tetapi aku tidak akan bisa membeli lagi nyawa ini.

     Aku ikut berlari bersama ratusan orang di jalanan, terlihat suasana yang sangat menyedihkan disana. Banyak korban berjatuhan disana, tewas dengan kepala terbelah, organ berceceran, bahkan ada tubuh yang terpisah setelah dihantam beton yang sangat berat. Aku berinisiatif untuk mengambil sebuah jalan lain dan aku sangat beruntung ya... sangat beruntung, apabila aku tetap berlari bersama mereka di jalan tersebut maka aku ditimpa sebuah billboard iklan yang berukuran kira-kira satu halaman rumah itu.

     Pilu dan perasaan menyakitkan muncul di batinku. Aku tidak bisa terus melihat mereka apabila aku ingin selamat. Kini, aku merasakan getarannya sudah lebih besar. Teriakan dan desahan warga juga semakin banyak. Bummm.... Sebuah pabrik meledak dan menewaskan lebih banyak orang lagi. Tempat ini sudah seperti neraka. Aku kembali berlari dengan pasrah, pasrah untuk menjadi salah satu korban dari bencana dahsyat ini. Sebuah gedung 50 lantai yang menjadi landmark kotaku runtuh dan mengenai para warga yang sudah menyeberangi sungai untuk ke posko pengungsian. Aku kembali selamat, tetapi kini sepi. Tidak ada lagi isak tangis, hanya ada mayat yang bernasib menyedihkan.

     Kini aku sendiri, yang selamat. Tapi aku yakin pasti masih ada orang yang selamat selain diriku. Aku berbaring di sebuah reruntuhan tanpa peduli lagi mayat yang ada di kanan-kiriku. Aku tertidur di samping sebuah mayat wanita yang pernah sebelumnya kukenal, ia adalah Michella, pacar pertamaku yang kuputuskan setelah 5 bulan berpacaran. Tapi, I don't care.

     Kembali kudengar langkah orang-orang berlari, apakah tim evakuasi telah datang ? Ketika kubuka mataku, tidak ada orang, hanya ada keheningan malam, dan tentu saja, mayat. Aku tertidur cukup lama bahkan sudah boleh dibilang sudah sangat lama. Kini, pikiranku mulai kembali terbuka. Aku mendengar langkah orang-orang berlari saat mulai tersadar dan suara tersebut menghilang saat aku membuka mata dan tak ada orang. Jadi, apakah yang kudengar itu ?

    Aku menoleh ke samping. Dimana Michella ? Tidak mungkin, dia sudah mati, aku bisa melihat itu. Bola matanya keluar dan sebelah mukanya hancur, terlalu gila untuk memungkinkan dia masih hidup. Mukaku berubah menjadi pucat, hanya ada 2 kemungkinan disini. Mayatnya diambil orang atau mayatnya kembali hidup. Bila diambil orang, maka seharusnya dia juga sudah mengambil aku karena aku masih hidup, atau orang tersebut adalah pemakan mayat, tidak... tidak logis sama sekali. Apalagi dengan kemungkinan kedua, lebih tidak logis lagi.

     Ketika otakku masih berusaha untuk berpikir secara logis, tiba-tiba terdengar suara ledakan di sebuah gudang yang berada 10 meter dari tempatku sekarang ini. Apakah ada kebocoran gas ? Aku segera kabur dari tempat itu. Akhirnya, ternyata ledakan ini membawa keberuntungan kepadaku. Aku harus menuju posko pengungsian. Sebenarnya, pemerintah sudah menyiapkan posko pengungsian menyusul laporan akan terjadinya gempa karena letusan gunung berapi yang berkekuatan besar. Tetapi warga menolak karena mengira gempa yang akan terjadi hanya sedikit menimbulkan keresahan. Tetapi tidak ada waktu lagi memikirkan hal itu, aku harus pergi ke posko pengungsian sebelum darahku habis.

     Aku berjuang melewati reruntuhan yang sudah menyelumuti kota tempat aku tinggal. Keheningan malam tidak membuatku takut meski aku melihat sesosok mahkluk bermata merah di depanku, ya kira-kira 5 meter di depanku. Karena waktu itu semua penerangan sudah lumpuh maka aku tidak akan melihat jelas sosok apa itu sebenarnya. Dia hanya diam, kupenjamkan mataku dan dia menghilang. Apakah itu hanya halusinasi dari otakku yang sudah tidak bisa berpikir normal lagi ? Dan hawa dingin sudah semakin menusuk dan akhirnya aku menyadari bahwa aku hanya memakai piyama. Dalam kegelapan, aku melihat sebuah mayat pria dengan jaket dan kaos yang bagus. Tubuhnya tidak terluka tetapi wajahnya dihantam baja dengan ujung yang tajam. Aku mengambil bajunya sambil berkata " Semoga arwahmu tenang." Kini aku sudah berbusana selayaknya seorang anak muda.

     Malam semakin larut, bahkan bulan dan bintang bersembunyi entah dimana. Kurasakan sebuah aura dibelakang, aku menoleh dan sesosok mata merah muncul kembali dan sekarang tidak hanya ada sepasang mata tetapi ratusan mata. Mereka seakan mengejarku dan tidak ada pilihan yang terbentang di hadapanku selain kabur dengan cepat. Kulihat sebuah gedung yang setengah hancur dan kumasuki. Mereka sudah berhenti, ya mereka hanya berdiri menatap gedung tempat aku bersembunyi. Cara mereka berdiri yang kaku cukup membuatku takut. Hanya mata mereka yang bersinar. Aku tidak bisa berdiri disini terus, aku harus ke posko. Di gedung itu, aku mencari barang yang bisa kupakai untuk melawan mereka. Akhirnya dengan susah payah mencari, aku mendapat linggis bukan shotgun yang kuharapkan daritadi. Saatnya bertempur.

     Aku keluar dan dengan berteriak aku berlari menuju arah mereka tetapi mereka hanya diam dan tidak bergerak sama sekali.  Akhirnya aku dekat dengan mereka dan busshh... mereka menghilang dan yang tersisa hanyalah debu dan mayat-mayat. Mayat ? Ya, mereka adalah mayat. Ternyata tadi aku dikepung mayat. Aku tidak percaya ini. Tiba-tiba, sesosok makhluk datang lagi, tetapi kini ia tidak bermata merah. Dia semakin dekat dan semakin dekat, ternyata dia adalah Michella. Tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat lagi, seorang yang sudah mati hidup kembali. Wajahnya tetap hancur tetapi aku bisa melihat kesedihannya yang mendalam. Dia melambaikan tangannya kearahku dengan maksud menyuruhku datang tetapi tidak kuhiraukan lagi, aku harus cepat menuju posko pengungsian.

     Aku meninggalkannya dan akhirnya pagi datang juga. Aku melihat TIM SAR datang dan aku menuju ke arah mereka. Aku menyapa mereka tetapi mereka tidak memberi respon bagaikan aku tidak ada disana. Aku mencoba tetapi tetap tidak ada respon dari mereka. Kesal, aku berusaha menyentuh mereka tetapi apa yang terjadi membuatku tidak percaya. Tanganku tembus ketika hendak menyentuh mereka. Ini tidak mungkin, aku tidak percaya semua ini. Ini bohong, apakah saya sudah... mati ?

--TAMAT--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By